Sabtu, 21 April 2012

Jenis - jenis mahasiswa dilihat dari lama kuliah



Manusia selalu berubah. Seiring dengan berjalannya waktu, pengalaman yang didapatkan, serta perubahan lingkungan, manusia selalu membuat perubahan-perubahan dalam hidupnya agar lebih baik.

Salah satu tahap dalam hidup manusia yang penuh dengan perubahan adalah saat mereka kuliah. Selain jadwal yang selalu berubah setiap semesternya, mahasiswa pun berevolusi, seiring dengan lamanya mereka berada di kampus.

Setelah melakukan penelitian intensif selama bertahun-tahun. akhirnya kita berada pada satu kesimpulan bahwa..

Tingkat 1 
Pas tingkat 1, biasanya mahasiswa masih adaptasi sama lingkungan dan orang-orang baru, biasanya pakaiannya lumayan rapih, biar pencitraannya bagus gitu, apalagi di hadapan lawan jenis. Dan karena ketemu temen-temen baru, masih suka jaim, belom ketauan belang-belangnya. Tingkat 1 adalah waktu untuk membangun pencitraan.

Kalo soal kuliah, biasanya masih semangat-semangatnya. Semua buku dibawa, dari buku wajib (yang asli impor, harganya 500 ribu), buku suplemen dari perpus, catetan, dan laptop. Kalo ada asistensi/tutor/lab jam 7 malem pun pasti dijabanin. Tugas? Pastinya dikerjain banget!

Tingkat 2 
Di tingkat 2 ini biasanya lagi betah-betahnya di kampus, tapi bukan buat kuliah. Setelah mengerti trik-trik ampuh titip absen dan cabut kuliah, anak-anak tingkat 2 ini mulai menyadari kalo kuliah cuma masuk kelas doang itu nggak asik. Mereka mulai aktif di organisasi, ikut kepanitiaan acara ini itu, gabung di perkumpulan mahasiswa, masuk klub olahraga kampus, ikut seminar dll.

Biasanya mereka dateng pagi ke kampus. Terus setor muka sama absen di kelas sebentar, abis itu mulai sibuk rapat, team building, seminar ini itu. Penampilan juga udah nggak serapih tingkat 1. Udah mulai akrab sama temen-temen baru, gebetan juga udah dapet, jadi mulai cuek. Biasanya ke kampus pake kaos yang ada logo universitasnya gitu.

Tingkat 3
Di tingkat 3, biasanya udah jarang keliatan di kampus. Bukan karena bolos, tapi jadwal kuliah biasanya udah nggak sepadet 2 tahun pertama. Kalo dulu bisa tiap hari masuk, sekarang bisa cuma 3-4 hari ada kelas. Akibatnya, pas tingkat 3 ini jadi lebih sering jalan-jalan ama seneng-seneng ketimbang kuliah. Karena itu, biasanya pakaiannya lebih cocok buat ke mall daripada ke kampus.

Karena jadwal yang lowong ini, masuk kelas biasanya cuma selewat aja. Anak tingkat 3 dateng pagi/siang pas ada kelas, abis selese kelasnya langsung cabut ke tempat lain. Kepanitiaan dan organisasi juga udah nggak se-intense tingkat 2. Karena udah senior, jabatan yang dipegang juga lebih tinggi. Jadi kerjaannya udah nggak ribet waktu masih jadi staf biasa.

Tingkat 4
Tingkat 4 identik dengan skripsi atau tugas akhir. Dan segala aspek kehidupan mahasiswa di tingkat 4 ini, semuanya dipusatkan ke skripsi tersebut. Walaupun kelas tinggal 1 atau bahkan enggak ada, mereka tiap hari nongol di kampus, entah ngetik di perpustakaan ditemani dengan 2 buku yang dibuka plus beberapa fotokopian jurnal atau ngejar-ngejar dosen pembimbing.

Gizi mahasiswa tingkat 4 ini biasanya juga buruk, karena stress mikirin skripsi. Muka-mukanya biasanya beler gara-gara kurang tidur ato bete gara-gara skripsinya abis diacak-acak sama dosen pembimbing. Mahasiswa tingkat 4 juga biasanya nggak punya kehidupan sosial yang aktif.

Tingkat 5 (dan seterusnya)
Kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Di dunia kuliah pun sama. Setelah 4 tahun berjuang keras supaya bisa lulus cepet, ternyata ada aja hal yang bisa menghalangi. Dari ada kelas yang nyangkut, atau dosen pembimbing sensi sama kita, jadinya nggak dilulus-lulusin. Dengan terpaksa, ada beberapa mahasiswa yang harus berevolusi ke mahasiswa semester 9 (dan seterusnya)

Jenis yang satu ini banyak ragamnya. Ada yang makin jarang ke kampus karena sibuk sama kerjaan lain (atau udah bodo amat sama kuliahan). Ada yang masih rajin ke kampus karena masih banyak kelas yang belom lulus. Ada juga yang nyangkut di perpustakaan, berusaha keras buat nyelesein tugas akhir yang susahnya setengah mati. Ada juga yang gak jelas ngapain, tapi tiap hari ke kampus, dianggap tetua, trus hobinya gangguin anak-anak tingkat 1. Walaupun jenis ini beraneka ragam, mereka punya sebuah kesamaan, yaitu sebuah alergi dan jangan pernah menanyakan 2 kata ini pada mereka atau mereka bakalan ngamuk : "Kapan lulus ?"
 

Selasa, 10 April 2012

Rumah Tukang Kayu

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate.
Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk terakhir kalinya.
Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya.

Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.
Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah dari kami."
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali.
Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita.
Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik.
Pada akhir perjalanan, kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Dan pada akhirnya, semuanya jadi terlambat!
Mari kita selesaikan "rumah" kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup.
Biarpun kita hanya hidup satu hari lagi, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi.

Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini.

sumber : http://nomor1.com/727378803/-Rumah-Tukang-Kayu.htm